Sharenting Itu (Gak) Penting?
Annisakih.com Sharenting? Duh, apose pula itu? Awalnya saya pikir adalah semacam tren baru di sosial media. Ternyata setelah googling dikit, sudah ada artikel wikipedianya lho. Berasal dari kata "over-sharing" dan "parenting" yang di mash-up. Arti harfiahnya bisa ditebak, kira-kira kebiasaan generasi milenial yang hobby pepotoan makin menjadi-jadi setelah punya anak. Siapa sih yang ga suka dengan foto bayi imut dan lucu? Apalagi anak sendiri pula.. Ibunya jadi narsis banget bahwa anaknya yang paling kece sedunia (dunia Ibunya pastinya, wajar toh? hoahahaha).
Definisi over di sini juga relatif. Bermacam pose bayi atau anak dalam satu kegiatan dan semuanya di upload ke sosial media apakah berlebihan? Apakah yang hanya memposting satu foto setiap harinya atau satu setiap minggu pun bisa dikira berlebihan? Karena barangkali diantara teman atau pengikut kita di sosial media ada yang masih memperpanjang sujud malamnya untuk memohon momongan, ada yang belum menemukan jodoh jadi melihat foto bayi bawaannya baper sendiri, ada yang simply ga suka foto anak-anak, malah jangan-jangan ada yang ngebatin "ih, anak lu lagi, anak lu lagi."
Sebenarnya kembali lagi ke niat dan pribadi masing-masing sebelum memposting ya.. Apakah lebih banyak manfaat atau mudharatnya. Tapi dari beberapa postingan yang saya baca tentang sharenting ini termasuk dari beberapa blogger favorit, saya mengambil kesimpulan bahwa menyoal tentang memposting foto anak ke sosial media terbagi dalam dua kubu ;
Pro:
1. Portofolio dan Membuka peluang bagi anak
Siapa tahu anak mendapat peluang di endorse? Lumayan kan. Atau bila ternyata anak memang memiliki talenta dan keinginan menjadi seorang penampil, maka jumlah pengikut di sosial media memiliki andil signifikan. Misalnya, kelak saat mengikuti suatu kontes yang berbasis popularitas (menghitung jumlah like, share disosial media, kirim sms atau lainnya), sudah ada barisan pendukung setia.
2.Berbagi ilmu
Buat ibu-ibu newbie yang sering clueless seperti saya, internet adalah anugrah. Perlu review atau info tentang parenting saya tinggal cari dan pilih sendiri sumber yag dirasa reliable. Lah, kalau misalnya ga ada ortu lain yang berbagi informasi melalui postingan di blog, instagram atau yang lain, tentu saya juga jadi kekurangan sumber informasi kan?
3.Mempererat dan memperluas tali silahturahmi
Saya senang bisa melihat pertumbuhan dan perkembangan putra putri sahabat-sahabat saya. Meskipun beberapa ada yang belum pernah saya jumpai langsung, kadang saya bisa sharing bareng mereka. Bahkan banyak diantara ibu-ibu lainnya, dari sekedar saling komen tentang anak, berlanjut ke kopdar di dunia nyata, hingga membentuk komunitas. Seru dan InsyaAllah bermanfaat.
Kontra :
Sharenting ga penting karena :
1. Dikaitkan ke ranah agama, bahwa disunahkan untuk tidak memaerkan foto, berpotensi riya.
2. Ada kemungkinan melanggar hak anak, bagaimana bila ternyata setelah dewasa Ia tidak menyukai fotonya yang telah tersebar di dunia maya?
3. Terms over pasti banyakan mudharatnya
4. Bahaya yang mengintai, misalnya pedofil dan online predator
Saya Sendiri? Duh, aslinya saya aliran pertama.. Sebenarnya saya akan jadi ortu yang rajin posting foto-fotonya Ziqri. Alasannya secetek saya tahu, saya sering ngerusakin gadget, foto-foto yang belum sempat terback-up potensi hilangnya cukip besar. Plus saya suka banget melihat-lihat album foto milik kedua orang tua saya sejak mereka muda. Setelah punya anak pun ayah saya sering membelikan satu rol film meski kami tidak ada acara khusus, hanya untuk befoto-foto di rumah lalu di cetak. Hasilnya saya dan adik punya cukup banyak koleksi foto masa kecil. Saya ingin Ziqri juga bisa menikmati album foto digitalnya sendiri kelak.
Tapi oh tapi, suami saya sangat berkebalikan. Beliau kurang suka di foto. Alhasil anaknya meniru. Sejak usia setahun, Ziqri mulai paham dan lancar berbicara, Ia selalu buang muka bila di foto dan berkata "gak mau" atau "jangan". Saya foto secara candid pun ujung-ujungnya bila ketahuan, maka akan minta dihapusnya. Saya menghargai sikapnya, otomatis selama hampir dua tahun terakhir, instagram saya sepi dari foto-foto si bocah.
Buat saya, penilaian oversharing ini dikembalikan lagi ke diri masing-masing, batasan wajar itu seberapa? Kalau saya minimal pastikan:
1. Apakah aurat anak tertutupi?
Meski kelihatannya imut dan menggemaskan, tapi saya sendiri pernah menegur foto facebook teman adik saya. Ia mengunggah foto putrinya yang masih balita hanya menggunakan popok sekali pakai tanpa memakai pakaian lain diatasnya. Tentunya saya menggunakan bahasa yang sopan dan Alhamdulillah tanggapannya positif.
2. Apakah anak memang mau di foto?
Bahkan bila perlu sampaikan padanya bahwa kita akan mengunggah fotonya, misalnya agar opa dan oma bisa ikut melihat kegiatannya.
3. Apakah kegiatan anak layak ditampilkan dimuka umum?
Untuk kepentingan sharing sekalipun, tanyakan pada diri sendiri, apa sekiranya foto yang kita unggah bisa menimbulkan perasaan tertentu yang kurang menyenangkan pada orang lain? Karena saya pernah mendengar sendiri percakapan seorang tante saya yang berhenti berteman dengan salah seorang keponakannya yang lain setelah ia menyaksikan si keponakan tersebut mengunggah foto putrinya yang masih bayi sedang (maaf) BAB!! Amazing memang.
Sebagai self reminder, saya merepost kampanye #CerdasBerkarakter dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), hal-hal yang perlu kita cermati sebelum mengunggah foto anak ke media sosial :
1 komentar
'