Ada Apa Antara Potensi Karhutla dan Tahun Politik Indonesia?
Indonesia merupakan negara dengan hutan hujan tropis yang terluas di dunia.
Potensi kekayaan alam yang sangat besar terkandung di hutan Indonesia. Diantaranya sebagai penyumbang oksigen atau terkenal istilah Indonesia merupakan paru-paru dunia.
Sayangnya setiap tahunnya deforestasi di Indonesia juga semakin meningkat. Deforestasi sendiri ialah pembukaan lahan baik dengan cara penebangan ataupun cara-cara lainnya dan mengalihfungsikan lahannya untuk penggunaan non hutan. Tentunya dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi misalnya menjadi lahan pertanian, perkebunan, peternakan bahkan pemukiman.
Tindakan deforestasi dapat dilakukan dengan sengaja ataupun dengan suatu modus, yang saya curigai sejak kecil pun kadang terjadi dengan disengaja.
Salah satu modusnya ialah dengan memanfaatkan fenomena kebakaran hutan dan lahan (karhutla)
Saya cukup concern dengan masalah ini, karena pernah beberapa kali terdampak cukup serius. Pertama, tahun 1998 ketika saya kelas 6 Sekolah Dasar (SD) di Pekanbaru. Saat yang cukup krusial menjelang ujian kelulusan SD - yang saat itu namanya disebut dengan Evaluasi Belajar Nasional (Ebtanas), sekolah terpaksa diliburkan. Penyebabnya karena kabut asap yang sangat parah akibat karhutla, hingga menurunkan jarak pandang dan dikhawatirkan berbahaya bagi pernafasan.
Penunjuk kualitas udara yang terletak di depan Kantor Gubernur Provinsi Riau, selalu menunjukkan tulisan merah yaitu berbahaya. Jelas saja, karena Pekanbaru dan Provinsi Riau pada umumnya, memiliki tanah yang bergambut dan sangat banyak titik api di daerah sekeliling.
Pemerintah kesulitan memadamkannya, meski telah melakukan banyak upaya. Negara tetangga yang ikut terdampak pun urun memberikan bantuan berupa pesawat ringan yang dapat memancing hujan buatan.
Penyebabnya karena kebakaran di tanah gambut tidak hanya terjadi di bagian atas tanah. Struktur tanah gambut yang terdiri dari sisa jasad renik dan tumbuhan zaman purba tetap mudah terbakar di dalam lapisan tanah. Ibarat api dalam sekam, hal ini membuat asap yang timbul justru semakin banyak.
Situasi benar-benar mencekam, untuk pertama kalinya ada kewajiban menggunakan masker selama berbulan-bulan. Anak-anak juga dilarang untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Bahkan di dalam rumah pun terasa berkabut dan sesak untuk bernafas. Rasanya cemas sekali, apalagi adik saya menderita penyakit asma.
Dari berita, kami mendapat informasi bahwa banyak yang mengalami sesak nafas dan infeksi pernapasan bagian atas atau ISPA.
Setelahnya beberapa kali saya masih mengalami kabut asap sebagai akibat Karhutla. Bahkan di tahun 2015, saya yang tinggal di Pulau Belakang Padang yang cukup jauh dari pusat titik api pun sampai gelap akibat kabut. Pemerintah kota Batam menginsiasi salat istighosah berjamaah, berdoa meminta turunnya hujan yang bisa menghilangkan kabut asap
Kabut asap kembali terjadi pula di tahun 2019. Saya saat itu sedang membantu mempersiapkan anak-anak mengikuti kegiatan olahraga antar daerah terpaksa membatalkan keikutsertaan. Alasannya selain demi kesehatan anak-anak, karena kabut asap membuat jarak pandang kapal pancong sarana transportasi kami dari dan menuju Pulau Batam menjadi lebih berbahaya dari biasanya.
Sedihnya, meski kerap kali berulang, sampai sekarang permasalahan karhutla dan isu lingkungan lainnya belum tuntas.
Hari ini, tanggal 10 Maret 2023, Saya menyimak diskusi yang cukup menarik di grup Telegram satu Bumi Tempo. Mas Agoeng Wijaya, Redaktur Pelaksana Desk Nasional untuk Koran Tempo.
Temanya ialah potensi kebakaran hutan dan lahan di tahun politik.
Benar, saat ini di pertengahan tahun 2023, kita sudah mulai mau memasuki musim kemarau yang rawan untuk terjadinya karhutla.
Saya baru menyadari bahwa dari data yang dikumpulkan, ada "trend" peningkatan karhutla setiap 4 tahun sekali.
Dilansir dari koran tempo.co, jaringan kerja penyelaman hutan Riau (jikalahari) menyampaikan kecemasan mereka kepada pemerintah daerah untuk mewaspadai karhutla sebagai dampak El Nino. El Nino sendiri merupakan kenaikan pemanasan suhu muka laut Samudra Pasifik bagian tengah yang memicu terjadinya musim kemarau kering di kawasan Indonesia.
Sementara itu, berdasarkan hasil kajian dari Pantau Gambut sebuah organisasi non pemerintah di Jakarta, ada 16,5 juta hektar atau sekitar 70% dari total luas kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) masuk kategori kerawanan yang sedang dan tinggi untuk terbakar.
Potensi peningkatannya pun semakin tinggi karena tahun depan merupakan tahun politik.
Dari data, disimpulkan bahwa luas karhutla selalu meningkat di tahun menjelang pelaksanaan pemilu. Dari hasil diskusi yang berlangsung selama hampir satu jam tersebut, saya juga mengambil kesimpulan, bahwa ada berapa dugaan mengapa hal tersebut terjadi :
1. El Nino
Periodenya memendek dari yang dahulunya 10 tahun sekali sekarang menjadi 5 tahun sekali akibat perubahan iklim global.
2. Pola peremajaan atau perluasan kerja lahan konsensi perkebunan atau kehutanan.
Mirisnya, food estate yang digadang-gadang pemerintah menjadi salah satu biang keladi kebakaran hutan dan lahan. Misalnya area terbakar di KHG sungai Kahayan atau sungai sebangun mencakup blok bekas perkembangan lahan gambut sejuta hektar.
3. Semua daya di pemerintah pusat dan daerah baik berupa pengawasan maupun anggaran menurun terhadap isu karhutla
4. Tahun politik menjadi masa rawan korupsi
Para pemimpin yang berstatus incumbemt dan ingin bersaing kembali di pemilu rentan untuk melakukan korupsi.
5. Pengusaha perkebunan dan kehutanan memanfaatkan politikus atau kepala daerah yang sedang butuh modal di tahun politik
Suatu PR besar bagi kita semua untuk bisa menyelesaikan benang kusut ini. Menciptakan suasana politik yang tenang, memilih pemimpin dan pejabat yang jujur dan adil serta anti korupsi sehingga tidak mudah dikendalikan para pengusaha khususnya oligarki yang mengincar lahan hutan kita. Dan pada akhirnya mampu mewujudkan Indonesia yang sehat dan meminimalisir kebakaran hutan dan lahan.
1 komentar